Tweet Now!
Follow @Tanyakekamu
JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat Indonesia dianggap cepat lupa akan perbuatan korupsi. Hal ini menjadikan sanksi sosial terhadap para koruptor lemah.
Koruptor justru dianggap sebagai penderma dengan menyisihkan uang hasil
korupsinya ke masyarakat. Anggota Komisi Hukum DPR Martin Hutabarat
mengatakan, menjadi hal yang tak mengherankan ketika seorang mantan
terpidana kasus korupsi menjadi pejabat seusai menjalani masa
hukumannya.
"Orang Indonesia itu sangat mudah lupa terhadap
perbuatan korupsi. Ini disebabkan karena di masyarakat, korupsi bukan
dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Bukan dianggap sebagai perbuatan
yang sangat memalukan," ujarnya.
Pernyataan Martin ini sebagai reaksi atas diaktifkannya kembali Azirwan, mantan terpidana korupsi dalam kasus alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan, menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu.
"Tidak ada sedikit pun korelasi yang dianggap tabu antara perbuatan
korupsi dan perbuatan menyumbangkan hasil korupsi di masyarakat kita.
Jadi, budaya kita sehari-hari tidak menganggap musuh perbuatan seorang koruptor," kata Martin.
Ia membandingkan dengan budaya yang terjadi di Jepang dan Korea
Selatan. Di sana, seorang mantan presiden atau menteri yang masih aktif
bisa bunuh diri karena merasa malu kepada masyarakatnya kalau diketahui
korupsi. Praktik seperti itu tidak pernah terjadi di Indonesia karena
orang tidak merasa malu korupsi.
"Budaya malu itu tidak ada di
masyarakat Indonesia. Di samping itu korupsi di Indonesia banyak yang
sifatnya struktural. Perbuatan yang saling melindungi. Peranan partai
sangat penting dalam perbuatan korup seperti ini. Titip menitipkan
seseorang pejabat untuk dibantu atau dilindungi oleh jaringan partai
sangat kuat," ujar politisi Partai Gerindra ini.
Hal tersebut
menjadi cermin nyata betapa dalam pemerintahan Indonesia kekuasaan
partai mendominasi. "Inilah yang sering kita alami sehingga perbuatan
korupsi tidak tumpas kita berantas seperti di Riau Kepulauan ini," kata
Martin lagi.
Adapun Azirwan yang merupakan mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan itu bebas dari tahanan sekitar tahun 2010. Azirwan dan Al Amin Nasution
(waktu itu anggota Komisi IV DPR) ditangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, pada 8 April 2008. Azirwan
divonis 2 tahun 6 bulan penjara dan membayar denda Rp 100 juta atau
subsider tiga bulan penjara. Azirwan terbukti menyuap Al Amin terkait
pembahasan alih fungsi hutan lindung di Bintan pada 2008.
Jogjatweet News Blog Berisi Info Teknologi klik follow untuk mengikuti Berita teknologi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
harap komentar dengan sopan dan tidak mengandung SARA