Kamis, 09 Agustus 2012

Mencari Metode Eksekusi yang Manusiawi

Kombinasi tiga jenis obat yang digunakan banyak negara bagian di AS dalam eksekusi pelaku kejahatan terkadang tidak selalu efektif karena dinilai menyakitkan. Apakah menggunakan metode baru akan membungkam kritik?
Pada 1 Agustus tahun ini, Ronald Smith seharusnya mati.
Ia divonis mati oleh negara bagian Montana untuk dua kasus pembunuhan yang dilakukannya lebih dari 30 tahun silam. Tetapi, setelah tiga dekade menunggu eksekusi dan beberapa jadwal eksekusi yang ditunda, kini perubahan hukum telah menyebabkan satu lagi penundaan.
Tantangan ini tidak terkait dengan kejahatan yang dilakukan Smith, tetapi metode yang akan digunakan negara bagian untuk mengakhiri hidupnya.
Perserikatan Kebebasan Sipil Amerika (ACLU), yang membawa kasus ini, mengklaim bahwa protokol tiga-obat yang digunakan Montana dalam eksekusi dapat menyebabkan penderitaan yang tidak perlu.
Dirancang oleh ahli anestesi Stanley Deutsch sebagai cara yang “sangat manusiawi” untuk mengakhiri hidupnya, metode itu seharusnya bekerja dengan cepat dan tanpa rasa sakit.
Luka bakar kimia
Tetapi, beberapa kasus terkini mengenai eksekusi dengan metode injeksi obat yang menyakitkan memicu perdebatan mengenai nilai metode ini.
Sejak digunakan di Texas pertama kali pada 1982, metode yang disebut “koktail tiga obat” itu menjadi metode eksekusi standar di AS.
Obat pertama, barbiturat, mematikan sistem saraf pusat dan membuat narapidana tidak sadarkan diri.
Obat kedua melumpuhkan otot dan menghentikan pernapasan narapidana. Yang ketiga, potasium klorida, menghentikan detak jantung.
Metode ini dinyatakan sebagai pengganti yang lebih manusiawi untuk gas mematikan dan kursi listrik.
Tetapi, para kritikus merasa skeptis.
“Tidak mungkin untuk dapat mengerti apa yang dilakukan obat ini pada manusia,” kata Deborah Denno, profesor hukum dari Universitas Fordham di New York.
“Mereka mungkin saja tidak sadarkan diri (oleh obat pertama) untuk berteriak, atau mereka kesakitan, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa karena saraf dikunci oleh obat kedua.”
Eksekusi gagal
Eksekusi Angel Diaz di Florida pada 14 Desember 2006 memakan waktu 34 menit dan injeksi ulang untuk menyelesaikannya.
Para saksi eksekusi melaporkan Diaz “tersengal-sengal” dan “wajahnya menahan sakit” selama prosedur itu.
Otopsi kemudian menemukan adanya luka bakar kimia di kedua lengan Diaz, di mana jarum disuntikkan ke dalam urat nadi dan jaringan tipis.
Jeb Bush, Gubernur Florida saat itu, untuk sementara menunda semua eksekusi di hari berikutnya.
Berdasarkan laporan, narapidana itu kemungkinan meninggal dunia dari “sesak napas” yang disebabkan oleh obat pengunci saraf, dan ia mungkin mengalami “sensasi terbakar akibat potasium.”
Tim pengacara dan pakar kesehatan yang menulis laporan itu menyimpulkan, “Pandangan konvensional mengenai injeksi mematikan dapat membuat proses kematian damai dan tanpa rasa sakit kini dipertanyakan.”
Pada 2009, setelah dua jam berusaha mengeksekusi Rommel Broom dengan koktail tiga obat, Ohio menjadi negara bagian pertama yang mengubah prosedurnya dari dosis tunggal menjadi anestesi.
Tim eksekusi kesulitan menemukan nadi yang tepat untuk menyuntikkan obat itu. Setelah 18 suntikan, ia dikembalikan ke sel dan belum dieksekusi ulang.
Setelah Ohio, negara bagian lain menyusul.
Meski 24 dari 33 negara bagian AS yang menerapkan hukuman mati masih menggunakan protokol tiga obat, lima negara bagian kini menggunakan metode obat tunggal, dan empat lainnya mengumumkan niat mereka untuk beralih pada injeksi satu obat mematikan.
“Dalam dua tahun terakhir, kita telah melihat banyak perubahan dalam protokol obat sepanjang sejarah injeksi mematikan,” kata Prof Denno.
Negara-negara bagian yang mengubah metode mereka menolak menjelaskan alasannya.
Sumber: http://internasional.kompas.com/read/2012/08/09/08543570/Mencari.Metode.Eksekusi.yang.Manusiawi

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

harap komentar dengan sopan dan tidak mengandung SARA

Protected by Copyscape Web Copyright Protection Software