Tweet Now!
Follow @Tanyakekamu
Ilustrasi (hasan/detikfoto)
Jakarta - Interkoneksi SMS lintas operator yang
berbasis biaya bakal mulai dijalankan pada 1 Juni 2012. Lantas, apa
imbas yang akan diterima oleh pelanggan terkait implementasi aturan ini?
Nah, sebelum berbicara soal untung ruginya, lebih baik kita cermati lebih dulu apa yang dimaksud dengan interkoneksi SMS ini.
Seperti
diketahui, sebelum pemberlakuan aturan interkoneksi berbasis biaya,
regulasi telekomunikasi di Indonesia menganut skema Sender Keep All
(SKA). Dengan skema ini, operator pengirim SMS menjadi pihak yang akan
menerima pendapatan dari SMS yang dikirimkan. Sementara operator si
penerima tidak mendapat apa-apa.
Selama ini skema SKA dilakukan
dengan pertimbangan bahwa trafik SMS antar penyelenggara akan berimbang
karena proses balas-berbalas pengiriman SMS. Namun dalam perkembangannya
terdapat ketidakseimbangan trafik sehingga operator yang kebanjiran SMS
dari operator lain merasa dirugikan.
"Ya, dianggap 'pesta di
lahan tetangga'. Pendapatan masuk ke operator pengirim tetapi operator
penerima cuma kebagian diberatkan jaringannya," ujar Kepala Humas dan
Pusat Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa
Broto kepada detikINET, Rabu (30/5/2012).
Hingga
akhirnya, skema SKA diganti dengan interkoneksi SMS berbasis biaya.
Adapun biaya interkoneksi SMS mengikuti hasil perhitungan biaya
interkoneksi tahun 2010, yaitu sebesar Rp 23 per SMS.
Biaya Rp
23 ini bukanlah yang menjadi tarif pungut kepada konsumen. Sebab jika
sudah jatuh ke konsumen maka komponen biayanya terdiri dari biaya
interkoneksi + biaya retail activity, dimana dalam retail activity terdapat komponen lainnya. Mulai dari biaya produksi, pemasaran, profit margin dan lainnya.
Lantas,
apa setelah ada interkoneksi berbasis biaya, tarif SMS akan naik?
Jawabannya adalah tidak pasti. Sebab itu semua tergantung dari
masing-masing operator. Namun yang pasti, dengan adanya aturan ini,
komponen untuk tarif pungut kepada konsumen jadi bertambah, yang berasal
dari tarif interkoneksi Rp 23.
Jika tarif tersebut dianggap
sebagai suatu beban yang sangat memberatkan, tentu bukan tidak mungkin
hal ini akan berdampak pada tarif yang bakal dikenakan kepada konsumen.
Pun
demikian, untuk kemungkinan ini Gatot menyangsikannya. Ia menyatakan,
jika operator nantinya malah menaikan tarif SMS dengan kualitas yang
tidak lebih baik operator lain, maka hal itu sama saja 'bunuh diri'.
"Pendulum
akan bergerak ke operator lain dengan harga tarif lebih murah dan
kualitas kurang lebih sama. Apalagi proporsi pelanggan seluler prabayar
berkisar 94% di Indonesia, ini tentu angka yang sangat besar," tukasnya.
Memang, dari bocoran yang didapat detikINET dari
sejumlah operator, sebagian menyatakan tidak akan menaikkan tarif SMS
meski diberlakukannya interkoneksi berbasis biaya. Sementara sisanya
masih meramu strategi untuk menyikapi aturan tersebut.
Keuntungan
lain dari diterapkannya interkoneksi SMS berbasis biaya ini adalah dari
sisi serbuan spam. Ya, sebenarnya ini bisa dibilang sebagai plus-minus.
Nilai plus karena aturan ini akan meminimalisir peredaran spam broadcast yang disinyalir sebagai dampak dari promosi para operator yang disalahgunakan alias promosi jor-joran SMS
gratis. Di sisi lain, dianggap nilai minus lantaran nantinya tidak akan
ada lagi gelontoran SMS gratis lintas operator yang ditawarkan kepada
konsumen.
"Tidak ada lagi SMS gratis. Persaingan antar
penyelenggara telekomunikasi untuk menerapkan tarif SMS yang murah
secara kompetitif tetap terbuka, namun harus berbasis biaya," lanjut
Gatot.
"Sebab jika 'rezim' SKA terus dibiarkan dampaknya sangat
besar. Itu yang terganggu tidak cuma jaringan operator, tapi terhadap
kualitas layanan secara umum. Itu tentu kondisi yang tidak sehat,"
pungkasnya
sumber: klik here .
Jogjatweet News Blog Berisi Info Teknologi klik follow untuk mengikuti Berita teknologi
Rabu, 30 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
harap komentar dengan sopan dan tidak mengandung SARA